Syech Muhammad Syarwani bin Haji Abdan (Guru Bangil) – Ulama Banjar di Tanah Jawa
Masyarakat Martapura dikenal religius. Tidaklah heran jika Kota Martapura, Kalimantan Selatan dikenal sebagai serambi Mekkah. Ditambah lagi, Kota ini memiliki makam Ulama besar yang banyak dikunjungi masyarakat dari luar Kota bahkan luar negeri.
Sebut saja di Sekumpul yang terdapat kubah (Makam) KH Muhammad Zaini atau dikenal dengan nama Guru Sekumpul. Setiap momen tahunan Haul Guru Sekumpul selalu dipadati jamaah dari luar Kota yang bisa mencapai jutaan orang.
Guru Sekumpul mempunyai seorang Guru yang hijrah ke tanah Jawa. Guru tersebut bernama Syech Muhammad Syarwani bin Haji Abdan. Syech Muhammad Syarwani lebih dikenal dengan nama Guru Bangil.
Guru Bangil merupakan keturunan dari Ulama tersohor di Kalimantan yaitu Muhammad Arsyad Al- Banjari (Datu Kelampayan). Ibunda dari Guru Bangil bernama Hajah Halimatus Sya’diyah binti Haji Abdul Ghoni. Guru Bangil dilahir di kampung Melayu Ilir pada tahun 1334 H/ 1913 M. Sejak kecil Ia mempunyai semangat yang kuat untuk belajar ilmu-ilmu agama.
Awal pendidikannya dijalani di Madrasah Darussalam yang kala itu diasuh oleh pamannya sendiri Syech Kaspul Anwar. Selain kepada pamannya beliau juga belajar kepada beberapa Ulama terkenal. Pada saat itu seperti Tuan Guru Ismail dan Tuan Guru Muhammad Toha dalam Pagar.
Pada usia yang sangat muda, Guru Bangil meninggalkan kampung halaman menuju pulau jawa dan bermukim di Kota Bangil dengan maksud memperdalam ilmu agama. Kala itu Ia belajar kepada beberapa Ulama di Kota Bangil dan Pasuruan antara lain KH. Muhdor (Gundang bangil), KH. Abu Hasan, KH. Bajuri, KH. Ahmad Jufri. Orang tua beliau saat itu memang sudah lama bermukim di Kota Bangil untuk berniaga.
Ketika berusia 16 tahun, pamannya Syech Muhammad Kaspul Anwar membawanya pergi ke Kota Mekkah. Selain dirinya ikut pula saudara sepupunya Syech Anang Sa’rani Arif. Mereka melanjutkan pelajaran ilmu agamanya di bawah bimbingan langsung sang paman.
Selama berada di Kota Mekkah keduanya ini dikenal sangat tekun mengisi waktu mereka dengan menuntut ilmu-ilmu agama. Keduanya benar-benar memanfaatkan waktunya dengan mendatangi majelis para Ulama besar di Kota Mekkah.
Saat itu diantaranya Sayid Muhammad Amin Qutbi, Sayid Alwi bin Abbas Al Maliki, Syech Umar Hamdan Al Mahrusi, Syech Muhammad Al Arobi, Syech Hasan Massat, Syech Abdullah Al Bukhori, Syech Syaifullah Adda Gustani, Syech Syafii Qodah, Syech Sulaiman Ambon, Syech Ahyat Al Buguri, Syech Ali bin Abdullah Albanjari, Syech Ali Hussen bin Al Maliki.
Setelah 10 tahun menuntut ilmu di Kota Mekkah, pada tahun 1939 M bersama sepupunya KH Anang Sya’rani Arif kembali pulang ke kampung halaman.
Setelah kepulangannya dari Mekkah, Guru Bangil menyelenggarakan majelis-majelis ilmu di rumahnya. Ia juga sempat mengajar di Madrasah Darussalam tempat pertama kali belajar dulu.
Guru Bangil pernah diminta menjadi seorang Qadi (hakim) di Martapura, namun ditolaknya dengan alasan lebih senang berkhitmat pada umat. Dengan demikian bisa mengatur waktu semaksimal mungkin dalam mengajar, bermutalaah dan beribadah.
tahun 1943 M beliau ke Kota Bangil dan sempat membuka majelis di lingkungan beliau hingga tahun 1944 M. Pada rentang waktu itu beliau berguru kepada Syech Muhammad Mursidi yang berasal dari Mesir. 1 tahun berada di Bangil ia kembali lagi ke Martapura dan melanjutkan majelis-majelis taklim yang telah dibinanya sejak pulang dari Mekkah pada tahun 1950 M beliau sekeluarga hijrah ke Kota Bangil.
Waktu menetap di Kota Bangil, beliau tidak langsung membuka majelis secara terbuka kecuali untuk lingkungannya terdekat saja. Beliau cenderung mempelajari keadaan lingkungan dan penduduk di Kota tersebut. Kemudian dari sikapnya menjadi sosok yang cukup disegani di kalangan Ulama di Jawa Timur.
Guru Bangil menghasilkan beberapa karya tulis diantaranya Risalah Az Zahirratussaminah Liahlilistiqomah, Risalah tentang Salat dan Puasa. Disamping beberapa risalah yang pernah ditulisnya, Ia juga meninggalkan beberapa karya hidup berupa sejumlah tokoh Ulama yang pernah menimba ilmu darinya diantara muridnya ada yang mendatanginya untuk mengambil berkat dan menambah kedalaman ilmu darinya karena mereka sebenarnya sudah cukup alim sebelum menemui beliau.
Diantara murid beliau yaitu KH Muhammad Zaini (Guru Sekumpul) dan banyak para Ulama lainnya yang tidak bisa disebut namanya.
Kiai Hamid Pasuruan dalam Kitab Manakib mengatakan “Beliau seorang yang telah mengambil jalan hidup secara khumul dan tak berharap akan ketermasyhuran. Beliau juga dikenal pandai menyembunyikan diri sehingga di lingkungan tempat ia tinggal banyak orang yang tidak mengetahui ketinggian ilmu yang dimilikinya”.
“Saya ingin sekali seperti KH Syarwani, ia itu alim tapi mastur, tidak masyhur, kalau saya ini sdh terlanjur masyhur jadi saya sering kerepotan karena harus menemui banyak orang. Menjadi orang masyhur itu tidak mudah. Bebannya berat. Kalau KH Syarwani itu enak jadinya tidak banyak didatangi orang,” ungkap Kiai Hamid dalam Kitab Manakib.
Pada usia senjanya KH Syarwani sering menderita sakit pada malam selasa 12 Safar 1410 H/ 11 September 1989 M dalam usianya 76 tahun beliau menghembuskan nafas terakhirnya, meninggalkan 27 Putra dan putri.